RAKYATBENTENG.COM - Serangan siber canggih di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, menjadikannya salah satu target utama di kawasan Asia Pasifik.
Dilansir dari Disway.id, menurut laporan terbaru dari Group-IB, perusahaan terkemuka dalam teknologi keamanan siber, mengungkapkan bahwa Indonesia menempati posisi kedua setelah negara lain di Asia Pasifik untuk serangan berbasis Ancaman Persisten Tingkat Lanjut (APT) pada tahun 2024.
Laporan Tren Kejahatan Berteknologi Tinggi 2025 mengungkapkan bahwa kejahatan siber kini telah berkembang menjadi suatu reaksi berantai yang saling memperkuat, termasuk ancaman seperti spionase negara, ransomware, pasar gelap, serta kejahatan siber yang didorong oleh kecerdasan buatan (AI). Menurut data yang dikumpulkan, Indonesia menyumbang 7% dari total serangan siber APT di kawasan ini, setelah hanya China yang lebih tinggi.
BACA JUGA:Apple Kantongi TKDN, iPhone 16 Series Segera Hadir di Indonesia
Salah satu contoh yang mencolok adalah kelompok APT asal Korea Utara, Lazarus, yang pada Mei 2024 berhasil mencuri lebih dari USD 308 juta dalam bentuk mata uang kripto dari platform DMM Jepang.
Selain itu, kelompok APT baru bernama DarkPink juga terlibat dalam serangan terhadap jaringan pemerintah dan militer, termasuk peretasan dokumen sensitif dan infeksi perangkat USB.
Seiring dengan itu, Initial Access Broker, pihak yang memperoleh dan menjual akses tidak sah melalui web gelap, juga berperan besar dalam memperburuk ancaman siber ini. Pada tahun 2024, lebih dari 3.000 daftar akses korporat ditemukan dijual di pasar gelap, dengan Indonesia, Thailand, dan Singapura menyumbang sekitar 6% dari insiden ini.
BACA JUGA:Ini 5 Manfaat Dash Cam AI, Bantu Kurangi Risiko Kecelakaan di Jalan!
Selain ancaman APT, ransomware juga semakin meningkat, menjadi salah satu bentuk kejahatan siber yang paling menguntungkan. Serangan ransomware global tercatat naik 10% pada tahun 2024, dengan sektor real estat, manufaktur, dan keuangan menjadi target utama.
Tidak hanya merugikan secara finansial, serangan ini juga sering menyebabkan kebocoran data sensitif. Laporan menunjukkan 6,4 miliar data terkompromikan akibat ransomware yang muncul di pasar gelap, termasuk informasi pribadi yang rentan terhadap penipuan dan pencurian identitas.
Serangan phishing juga mengalami lonjakan 22% secara global, dengan lebih dari 51% serangan menargetkan sektor keuangan di kawasan Asia Pasifik. Penjahat siber kini memanfaatkan deepfake yang dihasilkan oleh AI untuk memperdaya korban, menjadikannya lebih sulit terdeteksi.
BACA JUGA:Anti Lemot! OPPO A5 Pro Dibekali Fitur AI LinkBoost 2.0 untuk Kualitas Koneksi Lebih Stabil
Tak hanya serangan siber konvensional, hacktivism juga menjadi fenomena yang berkembang pesat di Asia Pasifik. Kelompok hacktivist seperti ETHERSEC TEAM CYBER dari Indonesia dan RipperSec dari Malaysia semakin aktif melakukan serangan DDoS, perusakan situs web, serta kebocoran data yang menargetkan pemerintah dan lembaga keuangan.
Dmitry Volkov, CEO Group-IB, menjelaskan bahwa kejahatan siber tidak lagi hanya serangkaian insiden terpisa, melainkan suatu siklus yang saling terhubung.
Menurutnya, ancaman siber yang semakin kompleks ini membutuhkan pendekatan yang lebih proaktif dan kolaboratif dari berbagai pihak untuk memutus siklus tersebut.